Oleh : M. Najmi Al Ramadhan
(Forum Kepala Teknik Tambang)
BANGGAI — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sebagai instrumen penting dalam pengelolaan kegiatan pertambangan di Indonesia.
RKAB bukan sekadar dokumen administratif, tetapi cerminan dari tata kelola pertambangan yang baik, mengintegrasikan aspek teknis, lingkungan, keselamatan kerja, pengembangan masyarakat serta kontribusi ekonomi terhadap negara.
Namun, perubahan kebijakan yang mengharuskan pengajuan RKAB setiap tahun menimbulkan keresahan tersendiri di kalangan pelaku usaha pertambangan.
Padahal sebelumnya, RKAB disusun untuk jangka waktu tiga tahun dengan evaluasi tahunan berdasarkan Permen ESDM No 10 Tahun 2023. Format ini telah terbukti memberikan kepastian usaha, stabilitas perencanaan, serta ruang efisiensi operasional. Pertanyaannya, apakah pengajuan RKAB tahunan benar-benar menjawab tantangan sektor ini secara struktural ?
Menciptakan ketidakpastian operasional
Industri pertambangan merupakan sektor padat modal dan berisiko tinggi dengan siklus investasi jangka panjang. Mulai dari pembebasan lahan, perizinan teknis, pembangunan infrastruktur, hingga tahapan eksplorasi dan produksi semuanya membutuhkan perencanaan sistemik dan kesinambungan kegiatan. Kebijakan RKAB tahunan justru menciptakan ketidakpastian perencanaan dan eksekusi teknis di lapangan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses evaluasi RKAB tahunan kerap memerlukan waktu yang melebihi batas perencanaan produksi, sehingga berisiko menghambat aktivitas operasional.
Hal ini terutama dirasakan oleh perusahaan berskala menengah dan kecil yang sangat bergantung pada kelancaran RKAB untuk menjaga arus produksi dan pemasaran. Kebijakan ini juga bertentangan dengan semangat pemerintah dalam mendorong hilirisasi, peningkatan investasi, dan percepatan penerimaan negara dari sektor pertambangan.
Beban Administratif yang Tidak Proporsional
Transformasi kebijakan menjadi RKAB tahunan menambah kompleksitas administratif yang signifikan. Sumber Daya Manusia (SDM) di kantor pusat dan lapangan harus terus-menerus dialokasikan untuk menyusun, mengajukan, dan merevisi dokumen RKAB setiap tahun. Energi yang seharusnya difokuskan pada peningkatan produktivitas, pengawasan K3LH, serta penguatan teknologi dan ESG (Enviromental, Social, Governance), menjadi tersita pada urusan administratif berulang.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Minerba juga menghadapi lonjakan beban kerja dalam menilai ribuan RKAB setiap tahunnya jika di kalkulasikan 1 orang evaluator akan mengurus 15 hingga 20 Izin Usaha Pertambangan Operasi/Produksi yang mana dalam dokumen RKAB itu terdiri dari Aspek Teknis Perencanaan Penambangan dari Produksi hingga Penjualan, Aspek Keselamatan Kerja, Lingkungan, Keuangan dan Pengembangan Masyarakat.
Dapat di bayangkan seluruh energi dan sumber daya manusia di Gedung Minerba/Supomo akan tersita untuk hal ini, dan sangat berisiko menurunkan kualitas pengawasan dan memperlambat pengambilan keputusan, terutama jika tidak didukung oleh sistem digitalisasi dan SDM yang memadai.
Angka Tidak Berbohong Kontribusi Minerba Sangat Signifikan
Kontribusi sektor minerba terhadap pendapatan negara tidak dapat disangkal. Pada tahun 2023, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM mencapai Rp.300,3 triliun, melampuai target tahun tersebut sebesar Rp.259,2 triliun. Dari jumlah itu, subsektor minerba menyumbang sekitar Rp. 173 triliun atau (58%) dari total PNBP ESDM (Data Kementerian ESDM tahun 2024). Hingga pertengahan Juli 2025, PNBP minerba telah mencapai Rp.71 triliun atau sekitar (57%) dari target tahunan Rp.124,5 triliun. Ini menunjukkan bahwa produktivitas sektor minerba sangat vital bagi struktur APBN. Akan tetapi, kesinambungan kontribusi ini mensyaratkan sistem perencanaan yang stabil dan tidak menghambat jalannya operasi tambang.














