Sementara, kondisi krisis keuangan jika kita cermati terletak pada kegagalan menata kelola keuangan negara. Di satu sisi, pemerintah gagal menggali dan mengelola berbagai sumber penerimaan negara.
Di sisi lain, membiarkan panorama kebocoran sumber-sumber penerimaan negara. Sebagai gambaran konkrit. Pertamina yang diharapkan menjadi salah satu sumber penerimaan negara, tapi yang terjadi adalah kerugiaan mencapai Rp 191 trilyun.
Publik sulit percaya bagaimana mungkin Pertamina yang sangat captive pasarnya dan di lapangan juga menunjukkan serapan konsumsi yang tak pernah idle, tapi mengapa harus rugi sebesar itu. Padahal dalam waktu bersamaan tak ada lagi subsidi ? Jangan salahkan perkembangan harga minyak dunia yang bergerak naik.
Sementara, saat harga pasar minyak dunia menurun dan itu berarti tergapai profit yang fantastik, tapi pemerintah diam seribu bahasa. Giliran rugi menjerit. Tapi, giliran untung besar justru diam. Di sisi lain, utang luar negeri kian membubung tinggi dan sesunguhnya sudah melampaui batas UU Keuangan Negara.
Berangkat dari sumber-sumber penerimaan negara, maka menjadi masalah yang tidak match ketika kebijakan penyetopan pengangkatan para tenaga honorer dikaitkan dengan problem penerimaan keuangan negara. Sebab, factor utamanya sejatinya pada ketidaktepatan mengelola sumber -sumber pemerimaan negara.
Perlu kita catat, ketidaktepatan tata kelola keuangan negara sangat mungkin terjadi karena penyalahgunaan. Hal ini berarti ada wilayah hukum yang harus ditegakkan secara disiplin tanpa diskriminasi. Publik melihat, pemerintah tak serius untuk menindak para pelaku penyalahgunaan kewenangan, apalagi sang pelaku merupakan kroninya.
Dalam kaitan kasus kerugiaan Pertamina yang mencapai Rp 191 trilyun, tak pernah terdengar sikap pemerintah untuk menindak para petinggi BUMN raksasa itu. Dalam hal ini Komisaris Utama harusnya diminta pertanggungjawaban. Minimal diminta keterangannya. Fakta bicara, tatkala sikap apalagi tindakan hukum untuk sang aktor penting yang telah mengakibatkan pertamina rugi sebesar itu.
Di sisi lain, terkait dengan utang luar negeri pun, pemerintah tak pernah bersuara jelas bagaimana peruntukannya. Jika memang untuk membiayai sejumlah megaproyeknya seperti pembangunan rel kereta cepat Jakarta –Bandung, sementara pemerintah sendiri pernah menyampaikan bahwa megaproyek itu bersumber dari dana konsorsium asing.
Dengan demikian, uang negara yang beratas nama utang luar negeri itu tidak masuk untuk pembiayaan megaproyek itu. Lalu, ke manakah dana utang luar negeri itu ?
Memang, ada data yang menunjukkan alokasi utang luar negeri itu, di antaranya untuk mengatasi krisis sosial ekonomi akibat pandemi covid-19. Kita perlu mempertanyakan, seberapa besar total dana untuk kepentingan social savety net itu ? Hanya sekitar Rp 1.000 trilyun. Lalu, mengapa utang luar negerinya tercapat kisaran Rp 7.000 trilyun ? Bubungan utang luar negeri yang cukup besar itu dan minimalitas angka untuk kepentingan social ekonomi, maka kontraksi itu menimbulkan kecurigaan tersendiri, dugaan korupsi.
Bukanlah mengada – ada. Minimal, penggunaan yang tidak efektif. Sekali lagi, krisis keuangan negara yang dihadapi sejatinya merupakan akibat kekeliruan menata kelola sumber sumber penerimaan negara. Dan hal ini di satu sisi merupakan problem kompetensi, meski Menteri Keuangan kita bereputasi dunia. Tapi, fakta bicara, ia gagal menunjukkan kinerjanya untuk keamanan sistem keuangan negara.
Aneh bin ajaib, kegagalan itu kemudian ditumpahkan kesalahannya dalam ragam penyetopan tenaga hononer dengan alibi negara tak punya uang. Ala maak.. sebuah format kebijakan yang tidak rasional.
Ada hal yang sangat mendasar untuk kita catat secara serius. Para tenaga honorer dengan gaji yang sangat terbatas dan relatif tak wajar itu, sesungguhnya tergolong menjadi warga negara fakir miskin.
Bagi mereka yang telah berkeluarga, bisa tergambar beban hidupnya yang berat. Menderita bertahun tahun. Mereka bertahan dalam mengabdi kepada negara karena keyakinan akan diangkat statusnya menjadi PNS.
Yang perlu kita soroti khusus adalah, kondisi ekonomi yang mereka sandang sebagai fakir miskin dalam perspektif konstitusi (Pasal 34 UUD 1945) merupakan pihak yang wajib diperhatikan oleh negara. Karena itu, sikap pemerintah yang menyetop pengangkatan para tenaga honorer tergolong tidak menjalankan amanat konstitusi. Karena itu jelas merupakan tindakan pelanggaran serius.
Itulah pelanggaran yang tidak bisa dipandang sebalah mata. Dalam hal ini Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) bukan hanya mengecam kebijakan yang tidak manusiawi itu, tapi berhak menyuarakan tegas atas tindakan inkonstitusional pemerintah.
Suara lantang itu wajib dikumdangkan agar wara wakil rakyat yang ada di parlemen melihat inkonstitusionalitas itu terkait penyetopan tenaga honorer. Di luar persoalan benturan kemanusiaan, juga prinsip konstitusi yang harus ditegakkan.
Mengingat jumlah korban penderita sampai 410 ribu tenaga honorer dan jika dihitung jumlah keluarganya maka, total korban tidak akan kurang dari angka kisaran satu juta orang. Total korban ini sudah cukup kuat bagi parlemen untuk memproses posisi politik presiden sebagai pengambil utama sebuah keputusan.
Jika parlemen cicing wae (diam saja) atas pelecehan terhadap konstitusi, publik setidaknya para tenaga honorer cukup tahu, itulah problem integritas dan ketidakmanusiaan para wakil rakyat kita. Juga cukup tahu, itulah problem kemanusiaan penguasa.
Maka, minimal para tenaga honorer sudah harus menyadari stop dukung rezim yang tidak menghargai hak-haknya. Jangan mau lagi dieksploitasi. Meski rezim ini tidak akan lama lagi berakhir, tapi para kroninya yang ada di parlemen tak boleh lagi dipilih. Ada pengkhianatan, minimal pelecehan yang harus disadari.
Liriklah dan bergabunglah bersama para calon wakil rakyat yang siap memperjuangkan kepentingan para tenaga honorer dan masyarakat lainnya yang senantiasa terus menanti pengayoman hak hak dasarnya. Dan insya Allah, kader PANDAI siap bersama kalian yang telah dibikin nestapa salama ini.**