Di balik musibah itu, dirinya nyaris putus asa, namun semangatnya dirinya bangkit kembali dan optimis walau sempat keluar masuk kantor di Luwuk hanya untuk melamar kerja. Hinggah akhirnya adik kandung Bupati Banggai Amirudin Tamoreka ini, memutuskan untuk merantau ke Ibu Kota Jakarta hanya bermodalkan loyalitas dan kejujuran.
“Tidak ada keluarga saya di sana (Jakarta) yang kaya, tidak ada uang banyak saat merantau hanya modal loyalitas dan kejujuran,” sebutnya.
Ia mengaku bahwa setiap tahun di Jakarta banyak sekali orang pintar di lahirkan, para sarjana berbagai keilmuan mereka. Namun berbanding terbalik dengan kejujuran dan loyalitas yang justru berkurang, “Jadi yang saya bawa hanyalah modal loyalitas dan kejujuran, orang bilang dunia akan kiamat kalau sudah tidak ada orang yang jujur,” terangnya.
Di Jakarta saya berpikir, apakah harus jadi pengusaha atau jadi pekerja. Dan saya kerja pertama di Migas (Survey Seismik) jadi tukang pikul kabel dengan gaji Rp.1,2 juta perbulan.
Walau gaji pas-pasan, dia mengaku sabar terlebih di tengah kerasnya kehidupan Kota Jakarta dan sempat jatuh sakit. “Alhamdulillah dengan loyalitas, saya kerja bukan mengejar duit tapi mengejar ilmunya” tambahnya.
Berawal dari sebagai tukang pikul kabel karirnya mulai menanjak, pertama menjadi crue (pekerja kasar), tiga bulan berikut jadi mandor dan satu tahun kemudian jadi koordinator HSE Safety K3L. Dalam jangka waktu dua tahun dirinya di percayakan perusahaan sebagai asisten kepala perwakilan, “Saya kerja mulai dari Aceh sampai Papua, pokoknya di dalam hutan samua,” kisahnya.